Mukadimah

Ini adalah kamar pribadi, tempat bergumulnya kegelisahan, cinta, tanya, ketegaran, kesunyian, harapan, pencarian, dan impian. Pergumulan yang mendekap kata-kata dalam narasi. Menjadi cerpen (mungkin). Kamar ini adalah kamar pribadi, segala isinya adalah milik sang pemilik. Mintalah izin dan kita pun dapat berbagi.

Salam,

Risza Setiawan

playlist


23 September 2008

Angin dan Sang Guru


ANGIN DAN SANG GURU

Gunung itu menjulang begitu tinggi hingga puncaknya seperti menembus langit dengan awan-awan yang mengitarinya. Begitu tegar berdiri ia, ungu dengan lerengnya tertutup lapisan-lapisan kabut yang mendekap lembut seperti selimut. Sunyi, hanya suara-suara angin yang berbisik, sesekali lirih binatang-binatang hutan menambah misteri dan membawa suasana ke dunia gaib yang tersembunyi.

Nun di kakinya berdiri sesosok manusia. Wajahnya yang teguh begitu dingin dengan mata yang setajam belati. Sepintas ia seperti manusia biasa berusia dua puluhan. Hanya saja rambutnya yang sudah keperakan tak bisa sembunyikan usia yang sebenarnya. Dari sorot matanya yang setajam belati berlompatan kenangan hidup yang berabad-abad lamanya. Dari peluh yang membasahi tubuh dan wajahnya terlihat perjalanannya yang panjang. Adakah ia datang dari puncak gunung? Dari puncak yang menembus langit?

Angin yang mengalir di sela-sela daun begitu terusik keingintahuannya. Dengan perlahan ia mengitari sosok manusia itu yang masih berdiri menatap tajam pada desa-desa dan kota-kota manusia yang ada di kaki gunung, seperti mencari sesuatu. Angin masih mengitarinya. Mencoba mengambung aroma tubuhnya, meraba-raba kulit tubuhnya, mencari tahu, siapa gerangan sosok manusia laki-laki bersorot mata belati ini? Adakah wajahnya yang teguh dan dingin ini mencari sesuatu?

Sosok manusia laki-laki itu kemudian duduk di atas batu di dekatnya. Membiarkan saja dan tak peduli pada angin yang mengitarinya. Matanya yang belati itu masih menatap tajam ke bawah, menatap tajam pada desa-desa dan kota-kota manusia, seperti mencari sesuatu. Angin masih mengalir dan mengitarinya, mencari tahu. Hingga pada batas kesabaran, sang angin bertanya,

“Siapa gerangan wahai anda saudara?”

Sosok manusia laki-laki itu tak menjawab. Wajahnya yang teguh masih begitu dingin dan beku.

“Adakah kau datang dari puncak gunung?”

Sosok manusia laki-laki itu menghela nafas, begitu dalam. Angin yang begitu penasaran tak berniat menyerah.

“Wahai saudara, aku tak mengerti bahasa mata.”

“Aku tak memintamu untuk mengerti,” sosok manusia laki-laki itu akhirnya bersuara.

“Adakah kau manusia?”

“Aku manusia. Dan akulah sang guru.”

“Benarkah? Siapa muridmu?”

“1.000 manusia.”

“Yang mana?”

“1.000 manusia di antara semua manusia.”

“Siapa saja mereka?”

“Kau tak akan tahu.”

“Di mana muridmu?”

“Akhirat menginginkan mereka.”

“Surga atau neraka.”

“Bukan urusanmu.”

“Kau sedang mencari mereka?”

“Hanya satu.”

“Di mana yang lain?”

“Akhirat menginginkan mereka.”

“Sudah berapa lama kau menjadi guru?”

“Berabad-abad sebelum keingintahuanmu menggangguku.”

“Mengapa kau mencari muridmu?”

“Untuk kubunuh.”

“Mengapa?”

“Melakukan kesalahan.”

“Apa kesalahannya?”

“Kesalahannya adalah melakukan kesalahan.”

“Rumit sekali.”

“Aku tak memintamu untuk mengerti.”

“Sudah berapa murid yang kau bunuh?”

“999.”

“Mengapa?”

“Melakukan kesalahan.”

“Harus dengan membunuh?”

“Melakukan kesalahan bukanlah yang kuajarkan.”

“Mungkin mereka khilaf.”

“Kekhilafan juga kesalahan.”

“Mengapa tak kau maafkan?”

“Hati manusia terlalu rapuh untuk mencerna kesalahan.”


Matahari mulai condong ke barat. Desa-desa dan kota-kota manusia perlahan mulai tertutup kabut. Sosok manusia laki-laki itupun mulai tertutup kabut. Namun angin tak mau menyerah.

“Apa yang kau ajarkan pada muridmu?”

“Semua hal kecuali melakukan kesalahan.”

“Manusia tak sempurna.”

“Aku tahu.”

“Kenapa tak kau maafkan?”

“Melakukan kesalahan bukanlah yang kuajarkan.”

“Keras kepala.”

“Aku tahu.”

“Sudahlah. Kau hanya beralasan saja.”

“Aku tak memintamu untuk mengerti.”

“Aku mengerti.”

“Kau tak mengerti.”

“Kau ingin membunuh muridmu, kan?”

“Bukan urusanmu.”

“Kau tak menerima kesalahan, kan?”

“Bukan urusanmu.”

“Oh, wahai guru. Betapa kejamnya dirimu.”

“Aku tak memintamu untuk mengerti.”

Angin pergi. Malam merambat turun dengan tenangnya. Desa-desa dan kota-kota manusia tak terlihat lagi. Sosok manusia laki-laki bermata belati tak terlihat lagi. Angin pergi.

Ketika malam berlalu, dan ketika matahari cahayanya menyentuh kabut yang mulai terbunuh, sang angin kembali. Dihampirinya sosok manusia bermata belati yang masih berada di tempatnya semula. Menatap tajam pada desa-desa dan kota-kota manusia, mencari sesuatu.

“Belum kau bunuh?”

“Bukan urusanmu.”

“Kapan kau akan membunuh?”

“Kau akan tahu.”

“Mau kubantu?”

“Bantu saja dirimu.”

“Mengapa?”

“Kau akan tahu.”

“Di mana muridmu?”

“Di antara manusia.”

“Yang mana?”

“Kau akan tahu.”

“Manusia bisa salah bisa benar.”

“Salah adalah salah, benar adalah benar.”

“Harus seperti itu?”

“Melakukan kesalahan bukanlah yang kuajarkan.”

“Mengapa selalu seperti itu?”

“Mau jadi muridku?”

“Nanti aku kau bunuh.”

“Berarti kau akan melakukan kesalahan.”

“Kau bisa mengajariku untuk tidak melakukan kesalahan?”

“Kau tak akan mampu.”

“Mengapa?”

“Aku tak mengajar angin.”

“Aku tak mengerti. Mengapa angin tak boleh belajar darimu?”

“Aku tak memintamu untuk mengerti.”

Angin pergi. Begitu kesal berputar-putar keras melabrak daun, melabrak rumput, bertiup kencang ke segala arah. Mendengung-dengung. Menyambar ke semua arah. Melarung desa-desa, melarung kota-kota, hutan-hutan, lembah-lembah, bukit-bukit, dan menerjang ke semua benua dan semua samudra selama berabad-abad lamanya. Setelah lelah ia kembali ke tempat sosok manusia laki-laki bermata belati yang menatap tajam ke desa-desa dan kota-kota manusia, mencari sesuatu.

“Belum kau bunuh?”

“Apa kau sudah lelah?”

“Benarkah kau guru?”

“Aku punya murid.”

“Aku benci padamu.”

“Cintailah kebenaran.”

“Aku bukan mahluk sempurna. Murid-muridmu juga tak sempurna. Kau juga tak sempurna. Semua mahluk tak sempurna. Mengapa tak boleh salah? Mengapa harus selalu benar? Bagaimana kalau aku tak tahu kalau aku salah? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku ingin berbuat benar? Bagaimana kau tahu kalau murid-muridmu juga ingin berbuat benar dan tak ingin berbuat salah? Mungkin saja dengan berbuat salah akan membawa kita pada kebenaran. Mungkin saja kebenaran didapat setelah melakukan kesalahan-kesalahan. Tak ada yang sempurna.”

Angin pergi. Amarahnya melontarkannya jadi serpihan-serpihan yang menyebar ke segala arah.

Sosok manusia laki-laki bermata belati itu masih diam. Berabad-abad sudah ia seperti itu. Diam dan terus mencari. 999 murid telah dibunuhnya. Ia akan menggenapinya setelah membunuh yang keseribu. Matanya yang belati menyorot tajam. Ia temukan apa yang telah berabad-abad dicarinya. Dengan gegas ia bangkit berdiri. Dihimpunnya seluruh kekuatan alam dalam tubuhnya. Menciptakan beliung yang berpusat di dadanya. Jubahnya berkibar-kibar. Ia rasakan desiran lembut angin di tengkuknya. Ditatapnya langit yang tinggi dan biru.

“Adakah kesempurnaan adalah bersandingnya kebenaran dan kesalahan?”

Jubahnya masih berkibar-kibar. Matanya yang belati menatap lurus, lurus ke puncak gunung.







28 August 2008

Malam Sebelum Kiamat


MALAM SEBELUM KIAMAT

Malam masih menggantung dengan lekukannya yang seperti kubah raksasa. Kegelapannya menciptakan perbatasan abadi bagi jangkauan mata. Tak tertembus. Di tengahnya bulan sendiri, terasing dari koloni bintang-bintang yang asik berkelap-kelip, memperbincangkan sesuatu yang entah. Terkadang sesuatu yang pijar membentuk garis sekilas, menandakan telah berakhirnya kehidupan sebuah benda di angkasa. Seperti perjalanan sebuah ritual pengakhiran. Hanya sekilas, namun terasa cukup indah.

Sudah 1000 kali putaran jarum jam hal seperti ini berlangsung. Tanpa henti. Waktu seakan mati. Matahari seakan lenyap dari peradaban. Tak ada lagi pagi. Orang-orang pun seakan telah lupa jika memang pernah ada pagi. Waktu berhenti.

Di bawah jajaran pohon cemara yang ujung-ujungnya meruncing seperti tombak, mencoba tembusi langit gelap, sepasang sosok manusia duduk terpekur menatapi bulan yang sendiri.

“Adam, adakah itu bulan yang kemarin?”

“Maafkan aku Hawa, aku lupa jika kemarin aku pernah melihat malam.”

“Begitu panjangnyakah malam ini hingga kau lupa pada waktu?”

“Entahlah, aku tak lagi peduli pada waktu.”

Wanita yang bernama Hawa itu menatap dalam pada sosok laki-laki yang dipanggilnya dengan sebutan Adam. Ia menatap dalam-dalam seperti ingin menembus gelap yang panjang. Memisahkan pandangannya dari wajah laki-laki yang ingin ditatapnya. Di dalam hati ia mencoba mengerti apa yang dikatakan laki-laki itu. Ia sendiri juga mulai tak peduli pada waktu.

“Mengapa malam belum berakhir?”

“Bulan masih sendiri.”

“Aku tak mengerti.”

“Aku tak ingin malam ini berakhir.”

“Mengapa?”

“Mungkin ini adalah malam yang terakhir.”

“Artinya dunia akan kiamat?”

“Mungkin saja. Kitab-kitab yang kubaca mengatakan hal itu.”

“Mengatakan apa?”

“Malam yang panjang, waktu yang berhenti akan mengantarkan kita pada kiamat.”

“Mengapa harus ada kiamat?”

“Pertanyaanmu seperti pertanyaan murid sekolah dasar yang tak paham ketika tanda titik harus dituliskan di akhir kalimat.”

“Aku belum memahaminya.”

“Setiap ada awal pasti ada akhir.”

Laki-laki itu tersenyum. Hawa mencoba memahami apa yang tak dipahaminya. Angin malam melintas di antara mereka. Membawa bisikan yang terlalu halus untuk di dengarkan. Sehelai daun cemara yang seperti jarum jatuh dan tersangkut di geraian rambut Hawa. Adam melihatnya. Dengan jari-jarinya yang laki-laki ia ambil daun itu. Sehelai daun itu memberikan alasan yang cukup bagus baginya untuk membelai rambut Hawa. Dengan lembut ia bawa kepala Hawa ke pundaknya. Ia daratkan kecupan yang dalam di kepala Hawa seperti ingin memindahkan segenap rasa yang menumpuk di dadanya. Sebuah kecupan di bawah bulan yang sendiri. Waktu berhenti. Angin malam melintas di antara mereka. Mencoba menyampaikan pesan lewat bisikan yang terlalu halus untuk didengarkan. Di kejauhan suara tiktok jarum jam masih berputar. Tapi waktu masih berhenti.

Mungkin di malam yang terlalu panjang seperti itu tak ada lagi orang yang ingat tentang berita koran pagi yang terakhir kali terbit 1000 kali putaran jarum jam yang lalu. Mungkin tak ada lagi yang ingat ketika ilmuwan-ilmuwan NASA mengabarkan kepada dunia bahwa pada satu waktu bumi akan berhenti berputar pada porosnya. Mungkin tak ada lagi yang ingat ketika sebuah bangsa yang kaya raya tiba-tiba tak punya apa-apa, tak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu penyebab dan jalan keluarnya. Mungkin tak pernah ada yang ingat ketika banyak orang yang mencuri dengan perasaan bangga yang membuncah. Mungkin tak ada yang ingat ketika tangan-tangan kurus bocah-bocah yang berkeliaran di jalan menjulur dengan tatapan yang memandang hampa. Sementara orang-orang memandang curiga atau malah memalingkan wajah pada gedung-gedung tinggi yang seolah-olah tak pernah berhenti untuk terus ditambah ketinggiannya. Terus dan terus berdiri dengan pongah. Semakin jauh dari keberadaan tanah yang menjaga pondasinya. Mungkin pula orang-orang tak mau ingat ketika hutan-hutan dilucuti hijaunya, dibongkar rimbanya, pohon-pohonnya diganti dengan beton-beton keras, bukit dan lembahnya diratakan dan memunculkan kenampakan geografi yang membosankan. Berdiri jalan-jalan layang, plaza-plaza, pabrik-pabrik, apartemen-apartemen, bus way dan sebagainya. Nyanyian rimba hanya tinggal sebuah dongengan yang diceritakan sebelum tidur. Itu pun hanya ketika para orang tua bermurah hati untuk mengantarkan anak-anaknya tidur. Mungkin juga tak ada yang ingat tentang para pelajar yang meninggalkan buku-buku pelajarannya. Menggantinya dengan majalah-majalah yang miskin ide dan muatan-muatan ilmu pengetahuan. Bahkan mungkin tak ada yang ingat tentang bapak-bapak yang sudah 1000 kali putaran jarum jam tidak berangkat bekerja, tentang ibu-ibu yang sudah 1000 kali putaran jarum jam tidak menjemur pakaian, tentang anak-anak sekolah yang sudah 1000 kali putaran jarum jam tidak berangkat ke sekolah dan menimba pelajaran, tentang muazin yang sudah 1000 kali putaran jarum jam bingung dalam menentukan masuknya waktu azan. Malam terlalu panjang, 1000 kali putaran jarum jam dan tetap malam. Bahkan orang-orang sudah mulai lupa tentang malam terakhir sebelum datangnya malam yang tak kunjung berakhir.

Sepasang sosok manusia masih duduk terpekur memandang bulan yang sendiri. Adam dan Hawa terpesona pada bulan yang mati. Sendiri dan terpasung pada waktu yang berhenti.

“Aku khawatir pada pagi yang akan memberikan akhir pada malam yang tak kunjung berakhir.”

“Adam, adakah malam akan berakhir?”

“Semua yang berawal pasti akan berakhir.”

“Kapan?”

“Aku juga tak tahu.Kita sudah memulainya. Cepat atau lambat kita juga akan mengakhirinya.”

“Seperti ada dan tiada?”

“Ya, seperti kanan dan kiri, depan dan belakang, atas dan bawah, awal dan akhir.”

“Aku belum siap.”

“Aku juga, tapi kita harus siap.”

“Aku belum menikah.”

“Aku mencintaimu.”

“Apakah kau akan menikahiku?”

“Waktu tak mengizinkanku. Genggam saja tanganku.”

“Kenapa tak kau lawan saja jalannya sang waktu?”

Adam hanya diam. Waktu berhenti. Angin terasa mati. Sayup-sayup azan berkumandang. Terdengar sangat jauh. Seperti suara yang datang dari dunia yang jauh. Adam menggenggam tangan Hawa. Bulan masih sendiri. Pelan-pelan, di barat muncul matahari.


27 August 2008

Wajah


NIRINA

Malam makin rapuh ketika sayapnya pelan-pelan ditikam tangan-tangan surya yang mulai terbangun setelah tidur lelapnya. Begitu perlahan, pelan-pelan membuka mata dengan ketenangan berjuta kekhusukan. Sementara aku masih saja terpaku di sudut taman-taman kota yang tiap jengkal permukaannya masih lindap oleh kerinduan embun-embun yang lelah setelah semalaman bercinta dengan rumput-rumput, bercinta dengan daun-daun, ranting-ranting, pagar-pagar, tembok-tembok dan semua yang mengalami malam dan menyerahkan diri dalam dekapannya yang kelam.

Seperti surya yang mulai tengadah akupun mencoba membuka mata. Agak lama tubuhku masih membatu sambil merutuk kenapa malam harus usai, apakah dia lelah? Lelahkah dia terhadap berjuta pengaduan perut-perut yang kosong? Lelahkah dia terhadap berjuta pertengkaran-pertengkaran yang entah? Tapi bukan itu yang menjadi masalah bagiku. Aku sudah terbiasa lelah, lelah seperti malam yang lelah. Tidak tahu kenapa. Yang kupahami hanyalah bahwa usainya malam akan mengantarkanku pada penyaliban yang berikutnya. Penyaliban yang datang dari hadirnya wajah-wajahmu dari tiap wajah yang lintas di sekitarku. Wajahmu membayang di barisan perempuan-perempuan berstelan rapi yang berjalan begitu gegas. Membayang di wajah anak-anak sekolah yang sebagian berlari dan sebagian mengayuh sepeda. Membayang pada wajah tukang sayur keliling, di wajah polisi di tengah jalan, di wajah kondektur yang menekan pijakan gas seperti menekan perutnya sendiri, dan membayang di wajah seluruh manusia yang merasa masih punya wajah. Bukan hanya itu, aku juga melihat bayangan wajahmu di kaca-kaca jendela, di etalase-etalase toko, di kolam-kolam, bahkan juga di permukaan kukuku yang basah masih kulihat wajahmu dengan senyummu yang tak pernah bisa aku lupa. Entah mengapa, melupakan sesuatu yang pernah bagitu dekat ternyata jauh lebih sulit ketimbang ketika mencoba mengingatnya untuk pertama kali.

Wajahmu masih berlompatan dari wajah ke wajah, dari jendela ke jendela, dari bus ke bus, dari pohon ke pohon, bahkan berlompatan dari tiap-tiap suara yang sampai ke gendang telinga. Begitu sulit, begitu kekal menyiksa hingga dalam setiap gerakan kurasakan nyerinya.

Pagi ini masih pagi yang itu juga, kususuri tepian kolam di taman itu. Lantas berjongkok menyerahkan kepenatan. Membasuh tangan, membasuh wajah, namun tak pernah bisa kubasuh kenanganku padamu. Begitu lekat. Begitu sulit untuk enyah. Mungkin untuk mengenyahkannya harus pula kuenyahkan hatiku. Tapi bagaimana mungkin aku hidup tanpa adanya hati? Bukankah manusia memerlukan hati untuk hidup? Dan seingatku aku adalah manusia. Itu artinya aku membutuhkan hati untuk tetap hidup. Tapi benarkah aku masih memiliki keinginan untuk hidup? Masihkah aku ingin hidup setelah keberadaanmu menjelma jadi kenangan-kenangan yang tak pernah bisa aku lupa? Menyiksaku, menyalibku berabad-abad sepanjang perjalanan surya lewat hadirnya wajah-wajahmu. Membuatku harus berlari-lari kian kemari untuk menghindari wajahmu. Berlari dari sudut jalan ke sudut jalan yang lain, dari taman ke taman, dari kantor ke kantor, dari bus ke bus, dari desa ke desa, dari kota ke kota, dari negara yang satu ke negara yang lain, bahkan dari planet ke planet, dari satu dimensi ke dimensi yang lain. Hingga aku lelah. Aku menyerah dan terbiasa dengannya. Terbiasa menerima suratan takdir. Dan terbiasa pula menerima segala siksaan dari hadirnya wajahmu. Kuterima satu demi satu dengan seluruh kerelaan yang tersisa padaku. Nyeri demi nyeri kuhayati dan kudalami sambil berharap malam akan segera tiba dan embun segera jatuh untuk sekedar membasahi luka-lukaku dan membawa kesadaranku agar mempertemukan aku dengan kematian, karena mungkin hanya dengan kematianlah bisa kuhindari hadirnya wajahmu.

Namun seperti kukatakan, pagi ini masih pagi yang itu juga. Aku masih hidup. Itu artinya aku masih harus bersiap kembali menerima penyaliban darimu. Pada satu titik kulihat wajahmu kian jelas. Kali ini bukan hanya wajahmu, tapi bisa kulihat jelas seluruh tubuhmu. Putih, ramping, tinggi dengan rambut tergerai dibalut pakaian terusan berwarna putih bergaris-garis coklat berlengan pendek dengan ukuran rok yang sedikit di atas lutut. Begitu elegan. Ya, itu adalah dirimu. Tak mungkin aku salah, karena berabad-abad yang lalu pernah bertahun-tahun aku begitu memahami tiap gesturnya sambil kupeluk dan menyampaikan tiap jengkal kasih sayang lewat bibirmu yang begitu halus.

Dengan perlahan kau berjalan mendekat, gaya berjalanmu pun masih seperti yang dulu. Setelah kita berdiri berhadap-hadapan kau pegang tanganku seperti yang dulu kerap kau lakukan. Tak hanya itu, kau peluk aku begitu erat seolah ingin mengalirkan ke tubuhku beban kerinduan yang berabad-abad kau pendam dalam tubuh rampingmu. Kau daratkan kecupan itu di pipiku. Bisa kurasakan tiap desah nafasmu yang halus di kulit wajahku. Lantas kau berbisik pelan padaku, “Pergilah kekasihku”.

Tiba-tiba kulihat sayap-sayap putih di bahumu dan kurasakan tubuhku melayang, menjadi begitu ringan, bahkan terurai seperti butiran-butiran debu dalam pelukanmu. Kian terurai bahkan tak mampu kurasakan lagi tubuhku. Namun bisa kurasakan ketenangan yang telah berabad-abad tak pernah lagi kurasakan sejak wajah-wajahmu mengejar-ngejarku. Begitu tenang, begitu syahdu. Sebelum seluruh tubuhku terurai, aku berbisik begitu tenang padamu dengan seluruh kerinduan dan kenanganku padamu, “Ya, aku pergi kekasihku”.

Lantas semua berpendar, memutih seputih-putihnya.


Nirina


Nirina, hari sudah sore, sudah waktunya ayah bersijingkat kembali ke rumah, merangkum kembali hati dan jiwa yang begitu patah. Kau tahu putriku? Langit barat begitu sarat mega-mega, ya, begitu jingga. Ayah ingat, warna langit senja seperti itu begitu kau suka. Mungkin nama panjangmu membuatmu berkarakter demikian, karakter yang begitu terpesona ketika menatap warna-warna jingga, terutama hamparan padang senja.

Nirina Moneta Putri, demikianlah enam tahun yang lalu ibumu memberimu nama. Ia, dan sejujurnya juga aku, begitu terinspirasi oleh warna senja lukisan monet, yang dengan ketaksengajaan yang sempurna mencumbu kami dalam imaji-imaji liar dan penuh rona tentang senja. Tak disengaja memang ketika selimut hujan mengguyur seisi kota sekaligus menjelmakan dirinya sebagai pengganggu sejati bagi kekhusukan kencan kami, dengan begitu manis dan dengan ketenangan seorang satria berkuda ia menggiring kami memasuki museum lukisan impresionis itu. Memang hanya tempat itulah yang begitu tepat sekaligus terdekat untuk berlabuh. Selanjutnya kau pasti sudah tahu, seperti dongeng yang terlampau sering kuceritakan padamu, bertemulah kami dengan si monet, si senja yang mencumbu itu.

Nirina anakku, di sore seperti ini biasanya kau sedang menungguku. Berayun-ayun nyaman di taman kecil depan rumah kita sambil bersenandung-senandung riang tentang kupu-kupu yang lucu. Ketika aku datang, kau pasti langsung menyerbuku, begitu sigap memelukku dan melabuhkan ciuman-ciuman sayang seorang anak di pipiku. Lantas seperti kau tahu denyar-denyar redup di hatiku, kau mengajakku menemui ibumu, istriku.

Nirina buah hatiku, kata ibu kau tak pernah nakal di rumah, ya? Sambil berceloteh, tangan mungilmu terkadang membantu ibu mencuci sayuran atau terkadang kau bantu ibu menyirami tanaman. Kau benar-benar peri kecilku anakku. Di lain waktu, terkadang kau menggambar. Menggambar apa saja, bunga, kupu-kupu, kastil, boneka, atau apa pun. Tapi seperti sudah tabiatmu, kerap kau torehkan latar senja di balik tiap warna, ya, warna senja, warna senja yang jingga anakku. Masih kata ibumu, kau tak pernah rewel ketika disuruh ibumu minum susu atau ketika disuruh menelan sebutir obat. Sepertinya kau sudah terbiasa, kau sudah sangat paham dan tahu betapa sayangnya kami padamu, begitu juga Ia. Kau hebat anakku, tapi kenapa waktu itu wajahmu kerap pucat beku?

Nirina, tadi sambil berjalan pulang, ayah mampir sebentar di toko donat. Ayah beli beberapa donat kesukaanmu. kau masih ingat? Coklat dengan taburan meses jingga, seperti taburan langit yang kau suka anakku. Dulu ketika kau kubawa ke tempat itu, kau selalu meminta donat dengan jumlah yang lebih padaku. Katamu, sebagian ingin kau berikan pada uwak Rahman, kakek tua yang selalu melintas di depan rumah kita sambil membersihkan badan jalan dari sampah-sampah dan guguran daun yang mengotorinya. Kau tahu Nirinaku? Tiga hari belakangan ini aku tidak pernah lagi melihatnya. Kudengar dari tetangga-tetangga kita ia sudah kembali ke desa asalnya, dijemput oleh anak-anaknya.

Nirina cinta mungilku, donat yang tadi kuberikan pada kek Rahim si penjaga makam. Tak mengapa, ya, anakku, kau pasti mengizinkannya. Oh, Nirinaku, hari ini ulang tahunmu sayangku. Ayahmu ini begitu rindunya padamu. Lihatlah, lihatlah anakku, lihatlah langit barat dengan mega-mega senja kesukaanmu. Begitu senada dengan warna mawar-mawar yang kutabur di pusaramu.

Oh, ya, Nirinaku. Di sore seperti ini biasanya kau sedang menungguku. Berayun-ayun nyaman di taman kecil depan rumah kita sambil bersenandung-senandung riang tentang kupu-kupu yang lucu.